Hingga menjelang pulang, makhluk yang bernama Jali ini tidak muncul untuk merebut bangkunya kembali dari tanganku, atau tepatnya, bokongku. Ketika bel pulang berbunyi, aku langsung memberikan senyum kemenangkan pada Ria yang menoleh ke arahku.
“It’s only for today...” ujarnya.
“Ya kalo Si Jali ini muncul, biar gue rayu, deh!”
“Heh... pengen
Aku segera berjalan ke pintu kelas begitu Guru Bahasa Inggris, Bu Evi keluar kelas. Ria masih merapikan buku-bukunya dan mengambil sweater dengan motif garis-garis hitam putih dari dalam tasnya. Ternyata dia belum berubah, masih suka sama motif garis-garis.
Hari ini kami akan pulang bareng, dan aku akan mampir ke rumah Ria. Kebetulan dia naik motor, aku bisa nebeng. Rumahku dan Ria berada dalam komplek yang sama. Tidak jauh dari komplek perumahan tempat berdirinya SMU Harapan ini.
Tadi seharian aku sempat berkenalan dengan beberapa murid kelas ini. Seperti Dini, Mega, Mel, dan Alin. Mereka adalah teman-teman yang cukup dekat dengan Ria. Ada juga yang lain , tapi aku rada lupa namanya. Maklum, orang yang bertubuh pendek seperti aku memang mempunya daya ingatan yang lemah. Itu aku baca di internet.
Aku juga berkenalan dengan Daniel dan Ronald, dua kecoak yang tadi pagi demen banget ngatain aku. Ternyata mereka juga teman dekat Ria, sering main bareng. Aku nyaris saja membuat jempol kaki mereka rata sewaktu jam istirahat tadi, tapi niatku ini dicegah Ria dengan berteriak dengan dramatis, “Jangannn.... mereka bukan musuhhhh....!!!! Mereka temen guaaa....!!!”
Akhirnya aku malah berkenalan dengan kecoak-kecoak itu. Yang keriting bernama Daniel, yang kurus hitam bernama Ronald. Mereka ini, nih, tipe-tipe trouble maker di kelas. Pasti selalu ada makhluk kayak gini di kelas. Ka
Walaupun mulut mereka jahil, ternyata mereka cukup ramah dan baik. Dan mereka deket banget sama Ria. Selain itu, mereka juga mengagumi musisi yang sama dengan Ria, Kurt Cobain. Kurt Cobain ,tuh, penyanyi band Nirvana yang udah meninggal lebih dari 10 tahun yang lalu. Tapi sampai sekarang lagu-lagunya masih terkenal aja. Setelah memperingati Daniel dan Ronald untuk tidak menghina tinggi badanku lagi, akhirnya aku memutuskan mau berteman dengan mereka. Tidak ada ruginya. Mereka juga cukup seru.
Sayangnya tidak semua siswa di kelas itu ramah-ramah. Ada beberapa yang melihat mukaku saja tidak sudi. Aku memperhatikan bahwa kelas ini kurang kompak. Yang dicap anak gaol cuma mau bergaul dengan sesama anak gaol. Sementara yang biasa aja kayak gue, ya bergaulnya ama yang biasa aja.
“Duluan, ya!” Ronald menepuk bahuku sambil berjalan keluar kelas diikuti Daniel. Aku menjawa oke sambil melambaikan tangan. Ria sudah berdiri di depanku.
“Yuk.” Ajaknya singkat.
Aku hendak berbalik keluar kelas ketika menyadari Si Cewek Gothik yang duduk di bangku di depanku masih duduk di kelas sambil menggambar-gambar. Aku tahu dari Ria kalo namanya ternyata Sandra. Dia adalah cewek yang pendiam dan jarang bergaul. Dia juga jarang berbicara dengan yang lain. Ada yang bilang dia itu anak broken home, makanya dia introvert gitu. Ada juga yang bilang kalo dia emang pemuja setan, makanya berdandan Gothik.
Yang lebih serem lagi, katanya sebenarnya umurnya 19 tahun, dia telat masuk SMA karena sempat masuk Lembaga Pemasyarakatan untuk anak-anak karena pernah membunuh. Tapi ada gosip juga kalo sebenarnya dia telat masuk SMA karena sempat dirawat di rumah sakit jiwa. Hiiii.... serem juga, sih.
Tapi, masalahnya, aku nggak tega ngelihat orang kok dicuekin gitu sama teman sekelasnya. Lagipula, aku nggak gitu percaya sama gosip-gosip itu. Sama kayak aku nggak percaya kalo tinggi badanku cuma segini gara-gara keturunan dari nenekku dan aku ga mungkin nambah tinggi lagi.
“Sandra! Belum pulang? Gue balik duluan, ya!” dengan seluruh keberanian yang kupunya aku mencoba menyapa Sandra.
Suasana kelas yang tadinya riuh dengan suara para siswa yang ngobrol dan beranjak pulang langsung berubah jadi hening. Ria melotot padaku. Yang lain melotot juga. Aku menahan napas, ketakutan. Mereka semua memperhatikan aku seakan-akan aku telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Seperti membuka makam Firaun yang penuh kutukan dan kutukannya itu akan mengenai siapa saja yang turut berada di ruangan itu.
Aku melihat Sandra bergerak perlahan mengangkat kepalanya. Seluruh kelas mengeluarkan desah ngeri tertahan. Aku jadi panik sendiri, apa iya aku udah ngelakuin kesalahan yang segitu fatalnya??? Gerakan kepala Sandra seakan-akan berubah menjadi slow motion. Semua orang menahan napas menantikan reaksi Sandra.
Kini matanya telah menatap mataku. Badanku langsung kaku. Aku merasakan udara dingin menyapu tengkukku, bulu kudukku berdiri. Sumpah, sekarang aku yakin seratus persen kalo malam pasti dia menjelma menjadi kuntilanak. Kini aku terjebak. Ia berhasil menatap mataku! Mungkin sedetik lagi aku akan berubah jadi kodok. Mana kutahu seandainya ia punya ilmu sihir melalui pandangan mata.
Aku hanya berharap, seandainya ia memang bisa menyihir melalui pandangan mata, mudah-mudahan ia menyihirku agar menjadi tinggi. Amin!
Aku sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk. Namun... apa yang terjadi?
Aku kira Sandra akan menyihirku, menghipnotisku, atau minimal mengutukku dengan bahasa Sansekerta. Ternyata ia malah mengangguk dengan pelan ke arahku. Hanya satu anggukan kecil yang tidak kentara. Tapi aku yakin sekali ia mengangguk untuk membalas sapaanku. Kemudian, dengan gerakan seperti slow motion lagi, ia kembali menundukkan kepalanya dan mulai melanjutkan menggambar.
Hufff.... tuh, kan! Ternyata dia nggak jahat. Buktinya dia membalas sapaanku. Walau cuma anggukan kecil, tapi ia jelas-jelas balas meyapaku tadi. Walau aku akui, tadi aku sedikit berharap dia betul-betul menyihirku menjadi tinggi. Hehehhee...
Seiring dengan kembalinya Sandra menatap sketchbook-nya, aku mendengar gelombang desahan nafas lega. Dan diikuti Ria yang dengan sukses mngeplak kepalaku kemudian menarik lenganku keluar kelas.
“Bego! Lo ngapain, sih, tadi???” bentak Ria sambil terus menarik tanganku berjalan menuju parkiran motor.
“Lah, mata lo buta? Jelas-jelas gue cuma nyapa Sandra...” jawabku heran melihat Ria yang panik. Biasanya kan dia cool.
“Emang salah, ya?”tanyaku.
“Ya nggak salah... Tapi lo kan belum tahu dia kayak apa. Jangan macem-macem sama dia.”
“Gue nggak macem-macem, kan? Cuma nyapa dia, kok. Lagian, gue kasihan ngelihat anak-anak sekelas kayak menganggap dia nggak ada gitu. Nggak pernah disapa, diajak ngobrol...”
“ Bukannya gitu, Na.” Ria berhenti melangkah. Rupanya kami sudah sampai di samping sepeda motornya. Motor bebek kopling, Suzuki Satria. Aku sempat terkejut, aku pikir ia akan membawa motor Ninja Kawasaki atau apalah yang lebih macho, “ Ini motor adek gue, motor gue Ninja lagi dibengkel.” Tuh, kan....
“Terus kenapa gue ga boleh nyapa Sandra?
Ria menyenderkan bokongnya di jok motornya, “ Sandra itu, dari kelas satu udah kayak gitu. Ga mau bergaul sama orang lain, dandan Gothik, cuek... gara-gara dandanannya dia sempet digencet. Tapi dia ngelawan, dan dia menang. Selain itu, sekolah ini sempat didatengin preman geng motor gitu, temen-temennya Sandra. Mereka ngancem, ga ada yang boleh ganggu Sandra...”
“Kereeennnn...” aku menggumam, membuat kata-kata Ria terputus.
“Apanya yang keren?!” ia menjitak jidatku.
“Loh, tapi kan kita ga boleh ngejauhin orang cuma gara-gara temennya anak geng motor!”
“Hahahah... ya nggak lah, Na.” Ria tertawa, “Seperti gue bilang, Sandra itu emang udah introvert dari dulu. Gue rasa, dia emang tipe orang yang lebih suka sendiri dan butuh ruang privasi yang luas. Masksud gue, Sandra kan cantik, tajir, pinter... dia bisa aja bergaul sama anak-anak keren di sekolah kita. Tapi dia lebih suka sendiri. Makanya... seharusnya kita menghormati ruang privasi dia...”
“Oh... gitu, ya?” aku terdiam. Apa iya emang Sandra-nya yang nggak mau bergaul sama orang lain? Apa enaknya, sih, nggak punya temen? Apa enaknya sekolah di tempat yang ga ada temennya sama sekali? Kenapa dia nggak sekolah bareng temen-temen geng motornya itu?
“Selain itu... gue denger-denger dia make narkoba, suka mabok... Ya itu emang wajar aja ada gosip gitu. Soalnya dia mainnya sama geng motor. Gue akui gosip itu belum tentu bener. Tapi tetep aja, menurut gue kita ga boleh terlibat terlalu deket sama dia sampe terbukti kalo gosip itu nggak bener.”
Ga tau, ya... aku cuma ngerasa hal ini nggak adil aja. Kan belum ada buktinya kalo dia beneran pake narkoba. Cerita yang aku denger dari Ria dan anak-anak kelas juga masih terbatas katanya si itu, katanya si anu, gosipnya begitu...
Duh, jadi kasihan sama Sandra. Aku, sih, lebih seneng nyoba deketin Sandra dan ngebuktiin kalo semua gosip itu nggak bener. Lagian...cewek Gothik itu kan keren banget! Aku ga keberatan punya temen anak Gothik!
“Yah... ni dia...” tiba-tiba Ria membuyarkan lamunanku. Ia bergegas memakai helm.
“Kenapa, Ya?”tanyaku.
“Muka lo... itu muka lo gue tau banget. Kalo lo nyengir najis gitu, pasti lagi mikirin ide-ide ngaco.”
“Heheheh... nggak gitu, ah.” Tanpa aku sadari senyum jahilku mengembang.
“Gue gak ikut-ikutan, ah! Anak gila....” Ria menyalakan motor kemudian aku bergegas duduk di belakangnya.