Monday 21 June 2010

4 : Si Cewek Gothik

Hingga menjelang pulang, makhluk yang bernama Jali ini tidak muncul untuk merebut bangkunya kembali dari tanganku, atau tepatnya, bokongku. Ketika bel pulang berbunyi, aku langsung memberikan senyum kemenangkan pada Ria yang menoleh ke arahku.

“It’s only for today...” ujarnya.

“Ya kalo Si Jali ini muncul, biar gue rayu, deh!”

“Heh... pengen liat gue kalo ada orang yang bisa ngerayu si trouble maker itu.” Ria hanya menjawab datar. Lama-lama aku jadi penasaran juga sama oknum Jali ini. Emang kayak apa, sih, orangnya...?

Aku segera berjalan ke pintu kelas begitu Guru Bahasa Inggris, Bu Evi keluar kelas. Ria masih merapikan buku-bukunya dan mengambil sweater dengan motif garis-garis hitam putih dari dalam tasnya. Ternyata dia belum berubah, masih suka sama motif garis-garis.

Hari ini kami akan pulang bareng, dan aku akan mampir ke rumah Ria. Kebetulan dia naik motor, aku bisa nebeng. Rumahku dan Ria berada dalam komplek yang sama. Tidak jauh dari komplek perumahan tempat berdirinya SMU Harapan ini.

Tadi seharian aku sempat berkenalan dengan beberapa murid kelas ini. Seperti Dini, Mega, Mel, dan Alin. Mereka adalah teman-teman yang cukup dekat dengan Ria. Ada juga yang lain , tapi aku rada lupa namanya. Maklum, orang yang bertubuh pendek seperti aku memang mempunya daya ingatan yang lemah. Itu aku baca di internet.

Aku juga berkenalan dengan Daniel dan Ronald, dua kecoak yang tadi pagi demen banget ngatain aku. Ternyata mereka juga teman dekat Ria, sering main bareng. Aku nyaris saja membuat jempol kaki mereka rata sewaktu jam istirahat tadi, tapi niatku ini dicegah Ria dengan berteriak dengan dramatis, “Jangannn.... mereka bukan musuhhhh....!!!! Mereka temen guaaa....!!!”

Akhirnya aku malah berkenalan dengan kecoak-kecoak itu. Yang keriting bernama Daniel, yang kurus hitam bernama Ronald. Mereka ini, nih, tipe-tipe trouble maker di kelas. Pasti selalu ada makhluk kayak gini di kelas. Kalian juga punya kan teman kayak mereka di kelas kalian?

Walaupun mulut mereka jahil, ternyata mereka cukup ramah dan baik. Dan mereka deket banget sama Ria. Selain itu, mereka juga mengagumi musisi yang sama dengan Ria, Kurt Cobain. Kurt Cobain ,tuh, penyanyi band Nirvana yang udah meninggal lebih dari 10 tahun yang lalu. Tapi sampai sekarang lagu-lagunya masih terkenal aja. Setelah memperingati Daniel dan Ronald untuk tidak menghina tinggi badanku lagi, akhirnya aku memutuskan mau berteman dengan mereka. Tidak ada ruginya. Mereka juga cukup seru.

Sayangnya tidak semua siswa di kelas itu ramah-ramah. Ada beberapa yang melihat mukaku saja tidak sudi. Aku memperhatikan bahwa kelas ini kurang kompak. Yang dicap anak gaol cuma mau bergaul dengan sesama anak gaol. Sementara yang biasa aja kayak gue, ya bergaulnya ama yang biasa aja.

“Duluan, ya!” Ronald menepuk bahuku sambil berjalan keluar kelas diikuti Daniel. Aku menjawa oke sambil melambaikan tangan. Ria sudah berdiri di depanku.

“Yuk.” Ajaknya singkat.

Aku hendak berbalik keluar kelas ketika menyadari Si Cewek Gothik yang duduk di bangku di depanku masih duduk di kelas sambil menggambar-gambar. Aku tahu dari Ria kalo namanya ternyata Sandra. Dia adalah cewek yang pendiam dan jarang bergaul. Dia juga jarang berbicara dengan yang lain. Ada yang bilang dia itu anak broken home, makanya dia introvert gitu. Ada juga yang bilang kalo dia emang pemuja setan, makanya berdandan Gothik.

Yang lebih serem lagi, katanya sebenarnya umurnya 19 tahun, dia telat masuk SMA karena sempat masuk Lembaga Pemasyarakatan untuk anak-anak karena pernah membunuh. Tapi ada gosip juga kalo sebenarnya dia telat masuk SMA karena sempat dirawat di rumah sakit jiwa. Hiiii.... serem juga, sih.

Tapi, masalahnya, aku nggak tega ngelihat orang kok dicuekin gitu sama teman sekelasnya. Lagipula, aku nggak gitu percaya sama gosip-gosip itu. Sama kayak aku nggak percaya kalo tinggi badanku cuma segini gara-gara keturunan dari nenekku dan aku ga mungkin nambah tinggi lagi.

“Sandra! Belum pulang? Gue balik duluan, ya!” dengan seluruh keberanian yang kupunya aku mencoba menyapa Sandra.

Suasana kelas yang tadinya riuh dengan suara para siswa yang ngobrol dan beranjak pulang langsung berubah jadi hening. Ria melotot padaku. Yang lain melotot juga. Aku menahan napas, ketakutan. Mereka semua memperhatikan aku seakan-akan aku telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Seperti membuka makam Firaun yang penuh kutukan dan kutukannya itu akan mengenai siapa saja yang turut berada di ruangan itu.

Aku melihat Sandra bergerak perlahan mengangkat kepalanya. Seluruh kelas mengeluarkan desah ngeri tertahan. Aku jadi panik sendiri, apa iya aku udah ngelakuin kesalahan yang segitu fatalnya??? Gerakan kepala Sandra seakan-akan berubah menjadi slow motion. Semua orang menahan napas menantikan reaksi Sandra.

Kini matanya telah menatap mataku. Badanku langsung kaku. Aku merasakan udara dingin menyapu tengkukku, bulu kudukku berdiri. Sumpah, sekarang aku yakin seratus persen kalo malam pasti dia menjelma menjadi kuntilanak. Kini aku terjebak. Ia berhasil menatap mataku! Mungkin sedetik lagi aku akan berubah jadi kodok. Mana kutahu seandainya ia punya ilmu sihir melalui pandangan mata.

Aku hanya berharap, seandainya ia memang bisa menyihir melalui pandangan mata, mudah-mudahan ia menyihirku agar menjadi tinggi. Amin!

Aku sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk. Namun... apa yang terjadi?

Aku kira Sandra akan menyihirku, menghipnotisku, atau minimal mengutukku dengan bahasa Sansekerta. Ternyata ia malah mengangguk dengan pelan ke arahku. Hanya satu anggukan kecil yang tidak kentara. Tapi aku yakin sekali ia mengangguk untuk membalas sapaanku. Kemudian, dengan gerakan seperti slow motion lagi, ia kembali menundukkan kepalanya dan mulai melanjutkan menggambar.

Hufff.... tuh, kan! Ternyata dia nggak jahat. Buktinya dia membalas sapaanku. Walau cuma anggukan kecil, tapi ia jelas-jelas balas meyapaku tadi. Walau aku akui, tadi aku sedikit berharap dia betul-betul menyihirku menjadi tinggi. Hehehhee...

Seiring dengan kembalinya Sandra menatap sketchbook-nya, aku mendengar gelombang desahan nafas lega. Dan diikuti Ria yang dengan sukses mngeplak kepalaku kemudian menarik lenganku keluar kelas.

“Bego! Lo ngapain, sih, tadi???” bentak Ria sambil terus menarik tanganku berjalan menuju parkiran motor.

“Lah, mata lo buta? Jelas-jelas gue cuma nyapa Sandra...” jawabku heran melihat Ria yang panik. Biasanya kan dia cool.

“Emang salah, ya?”tanyaku.

“Ya nggak salah... Tapi lo kan belum tahu dia kayak apa. Jangan macem-macem sama dia.”

“Gue nggak macem-macem, kan? Cuma nyapa dia, kok. Lagian, gue kasihan ngelihat anak-anak sekelas kayak menganggap dia nggak ada gitu. Nggak pernah disapa, diajak ngobrol...”

“ Bukannya gitu, Na.” Ria berhenti melangkah. Rupanya kami sudah sampai di samping sepeda motornya. Motor bebek kopling, Suzuki Satria. Aku sempat terkejut, aku pikir ia akan membawa motor Ninja Kawasaki atau apalah yang lebih macho, “ Ini motor adek gue, motor gue Ninja lagi dibengkel.” Tuh, kan....

“Terus kenapa gue ga boleh nyapa Sandra?

Ria menyenderkan bokongnya di jok motornya, “ Sandra itu, dari kelas satu udah kayak gitu. Ga mau bergaul sama orang lain, dandan Gothik, cuek... gara-gara dandanannya dia sempet digencet. Tapi dia ngelawan, dan dia menang. Selain itu, sekolah ini sempat didatengin preman geng motor gitu, temen-temennya Sandra. Mereka ngancem, ga ada yang boleh ganggu Sandra...”

“Kereeennnn...” aku menggumam, membuat kata-kata Ria terputus.

“Apanya yang keren?!” ia menjitak jidatku.

“Loh, tapi kan kita ga boleh ngejauhin orang cuma gara-gara temennya anak geng motor!”

“Hahahah... ya nggak lah, Na.” Ria tertawa, “Seperti gue bilang, Sandra itu emang udah introvert dari dulu. Gue rasa, dia emang tipe orang yang lebih suka sendiri dan butuh ruang privasi yang luas. Masksud gue, Sandra kan cantik, tajir, pinter... dia bisa aja bergaul sama anak-anak keren di sekolah kita. Tapi dia lebih suka sendiri. Makanya... seharusnya kita menghormati ruang privasi dia...”

“Oh... gitu, ya?” aku terdiam. Apa iya emang Sandra-nya yang nggak mau bergaul sama orang lain? Apa enaknya, sih, nggak punya temen? Apa enaknya sekolah di tempat yang ga ada temennya sama sekali? Kenapa dia nggak sekolah bareng temen-temen geng motornya itu?

“Selain itu... gue denger-denger dia make narkoba, suka mabok... Ya itu emang wajar aja ada gosip gitu. Soalnya dia mainnya sama geng motor. Gue akui gosip itu belum tentu bener. Tapi tetep aja, menurut gue kita ga boleh terlibat terlalu deket sama dia sampe terbukti kalo gosip itu nggak bener.”

Ga tau, ya... aku cuma ngerasa hal ini nggak adil aja. Kan belum ada buktinya kalo dia beneran pake narkoba. Cerita yang aku denger dari Ria dan anak-anak kelas juga masih terbatas katanya si itu, katanya si anu, gosipnya begitu...

Duh, jadi kasihan sama Sandra. Aku, sih, lebih seneng nyoba deketin Sandra dan ngebuktiin kalo semua gosip itu nggak bener. Lagian...cewek Gothik itu kan keren banget! Aku ga keberatan punya temen anak Gothik!

“Yah... ni dia...” tiba-tiba Ria membuyarkan lamunanku. Ia bergegas memakai helm.

“Kenapa, Ya?”tanyaku.

“Muka lo... itu muka lo gue tau banget. Kalo lo nyengir najis gitu, pasti lagi mikirin ide-ide ngaco.”

“Heheheh... nggak gitu, ah.” Tanpa aku sadari senyum jahilku mengembang.

“Gue gak ikut-ikutan, ah! Anak gila....” Ria menyalakan motor kemudian aku bergegas duduk di belakangnya.

3 : Bangku Kosong

Setelah pelajaran Bahasa Indonesia oleh Bu Koes, dilanjutkan pelajaran matematika oleh Pak Agus. Ternyata bukan hanya aku saja yang merasa beliau mirip Mario Bros, melainkan seluruh kelas.

Begitu Pak Agus melangkah memasuki kelas, ada beberapa anak yang menggumamkan lagu latar game Mario Bros. Pak Agus langsung melotot mencari sumber suara. Tapi begitu dia melihat ke arah siswa-siswa, gumaman lagu itu langsung berhenti. Lalu anak-anak menggumamkan lagu itu kembali ketika Pak Agus berkonsentrasi pada papan tulis, dan kembali brehenti ketika Pak Agus membalikkan badannya. Tampaknya Pak Agus nggak pernah main nintendo Mario. Dia hanya menunjukkan tampang bingung saat para siswa menggumamkan lagu itu dan kemudian tertawa cekikikan.

Begitu pelajaran matematika selesai, bel istirahat langsung berbunyi. Ria langsung menarik tanganku dan mengajakku ke kantin. Mataku hijau melihat daftar menu yang ada di sana. Ada batagor, otak-otak, somay, gado-gado, ketoprak.... wahhh.... di Ambon sana makanan seperti ini sangat jarang. Padahal aku doyan banget makan batagor dan otak-otak. Kangen banget sama semua makanan yang wajib ada di kantin-kantin sekolah ini. Aku sampai bingung mau mesen apa.

”Na, lo serius mau makan itu semua??” Ria melotot melihat aku mencampur batagor, otak-otak, dan siomay dalam satu piring. Sementara di tanganku yang satu lagi, aku memegang sepiring ketoprak.

“Maklum, Ri... gue kalap. Heheheh... udah lama gue nggak makan beginian. Padahal ini kan jajanan favorit gue waktu SMP.”

“Ya, nggak segitunya juga kaliii...” Ria tertawa.

Setelah Ria memesan makanan, Ria mengajakku duduk. Kami duduk di meja sebelah luar. Di barisan meja sebelah dalam tampak diduduki oleh siswa-siswa yang bergaya modis. Nah, ini dia, nih, tipe-tipe pelajar level satu.

Kalau di SMA ada empat tingkatan sosial pelajar.

Nomor satu adalah pelajar level satu, atau biasa kita kenal dengan sebutan anak gaul, geng gaul, atau anak tongkrongan. Biasanya didominasi oleh pelajar-pelajar yang tajir dan/atau gayanya keren. Bisa aja sebenarnya nggak tajir, tapi maksa biar gayanya keren dengan memakai tas dan sepatu yang mahal, berdandan ala Cinta and the gank di film AAdC? (rambut panjang, kemeja ketat, rok mini, dan jangan lupa... kaus kaki panjang), serta rajin ikut pensi-pensi di sekolah lain. Orang-orang seperti ini biasanya tipe yang memakai uang sekolah buat modal gaul, dan rela nggak makan di kantin karena ingin menabung buat modal jalan-jalan pas week end. Semua itu mereka lakukan hanya agar di terima di golongan level satu.

Golongan dua adalah mereka yang suka ngintilin golongan pertama, dan bergaya nggak kalah heboh dengan anak-anak level satu. Tapi tetap saja, mereka nggak diajak kalo anak-anak level satu jalan-jalan, nonton pensi, atau ngadain pesta ulang tahun, kecuali kalo golongan pertama tadi lagi butuh tebengan.

Yang ketiga adalah tipe siswa yang menonjol karena prestasi, atau aktif di ekskul, tapi tetap nggak cukup keren untuk bergaul dengan dua golongan sebelumnya. Mereka hanya terkenal di kalangan level tiga dan dibawahnya. Anak level satu dan dua nggak pernah peduli sama mereka kecuali kalo lagi butuh contekan.

Anak-anak level empat, sudah pasti, rakyat jelata. Mereka-mereka yang nggak punya kelebihan apa-apa akan terdampar dengan sadisnya di golongan ini.

Tapi, berdasarkan sebuah novel yang pernah gue baca, ada lagi level yang lebih rendah dari level empat. Walaupun Sang Penulisnya membahas tingkatan sosial pada tingkat mahasiswa, tapi aku rasa ada juga anak-anak SMA yang tersisihkan menjadi level terakhir ini. Yaitu lumut. Alias, antara ada dan tiada. Keberadaannya ngga pernah dilihat dan diperhitungkan oleh orang lain.

Sebenarnya aku nggak setuju dengan pengklasifikasian seperti ini. Tapi kayaknya udah alami aja, ya, pergaulan orang-orang terbagi-bagi dalam level-level seperti itu. Kecuali buat aku. Aku selalu menyapa dan bergaul dengan siapa saja. Buatku, semua orang itu sama. Nggak ada bedanya.

Makanya aku malas sekali melihat suasana di kantin ini. Aku melihat, golongan level satu duduk bergerombol di barisan meja bagian dalam. Sementara siswa-siswa yang gayanya biasa saja otomatis berkumpul di meja bagian luar.

”Itu anak-anak kelas tiga, Na.” Ria ternyata memperhatikan aku menatap ke kelompok level satu, ” Di sini ada aturan tak tertulis kalo yang boleh duduk di dalem cuma anak kelas tiga dan anak kelas dua yang deket sama mereka. Sisanya duduk di luar sini. Kalo anak kelas satu, belum boleh makan di kantin. Mereka nggak boleh menginjakkan kaki di sini. Kalo ketahuan... bisa digencet habis-habisan.”

”Loh??? Kok, gitu, sih??? Kan hak asasi orang, donk, mau makan di mana aja. Kalo misalnya ada anak kelas satu yang kelaperan, trus kalo nggak makan saat itu juga bisa mati gara-gara maag... apa tetep nggak boleh mesen makanan di kantin juga??” tanyaku panas.

”Ya gitu, deh... gue pernah digencet waktu kelas satu. Gara-gara makan di kantin. Gue nggak peduli sama aturan sialan mereka. Gue juga nggak takut digencet sama mereka. Tapi temen-temen gue kena imbasnya gara-gara gue berani ngelawan mereka. Semua orang yang deket sama gue jadi ikut-ikutan dikerjain. Ya udah... akhirnya gue ngalah, deh. Gue nggak takut ribut ngelawan mereka. Tapi gue kasihan sama temen-temen gue yang lain.” Jelas Ria sambil mulai mengunyah baksonya.

Aku tertegun sesaat. Ternyata pelajar di Jakarta sekasar itu, ya? Di Ambon sana, nggak ada, tuh, istilah senioritas dan gencet-gencetan. Semua orang sama, mau tajir, mau miskin, mau anak pejabat, anak nelayan, semuanya akrab satu sama lain. Justru di Jakarta sini, yang notabene orang-orangnya lebih terpelajar, tapi para pelajarnya sikapnya kayak preman gitu. Yah, at least pelajar di sekolah gue ini.

“Guru-guru nggak ada yang negor, Ri?”

“Mana ada...emangnya mereka tahu? Nggak ada murid yang berani ngadu. Dulu katanya pernah ada yang ngadu gara-gara digencet senior. Si senior sampai di skors. Tapi imbasnya, si junior malah makin sering dikerjain. Dikunciin di kamar mandi, tasnya diisiin tumpahan jus mangga, mejanya di coret-coret, sampai diselipin rokok di tasnya trus ada yang ngaduin kalo si junior ngerokok. Dia kaget pas di tasnya ada rokok. Akhirnya dia kena skors, kemudian orangtuanya marahin dia habis-habisan. Akhirnya dia nggak tahan dan keluar dari sekolah ini.”

“ Dia nggak tahu siapa yang ngerjain dia, jadi dia nggak bisa ngadu ke pihak sekolah, soalnya dia nggak punya saksi dan bukti kalo dia dikerjain.”

“Gila... parah banget, Ri!!” seruku terkejut. Heran dengan tingkah remaja yang bisa segitu jahatnya. Emang ada, ya, orang sejahat itu?

”Ya... makanya... lo ikutin aja aturan-aturan yang ada di sekolah ini. Nanti gue kasi tau lagi, deh, apa yang nggak boleh dilanggar di sini.” dengan wajah santai Ria menceritakan semua hal tadi, ”O iya... salah satu yang nggak boleh lo langgar. Mestinya lo nggak duduk di bangku tadi.”

”Bangku apa?” kok, tiba-tiba dia ngomongin bangku, sih?

”Bangku yang lo dudukin di kelas, Monyong... Itu tempatnya Jali.”

”Bangku gue? Oh, ternyata udah ada yang duduk di situ? Jali siapa, Ri? Ini dia Si Jali-Jali?” aku nyengir sendiri mendengar pertanyaan spontanku. Sayangnya, bukannya ketawa, Ria malah menatapku malas ketika mendengar guyonanku, wajahnya seakan berkata “Najis, jayus banget lo!

“Bangku lo, tuh, punyanya si Jali. Dia emang jarang masuk, sering bolos. Sebenarnya dia kelas tiga, tapi gara-gara jarang masuk, dia akhirnya nggak naik kelas tahun lalu. Jadinya dia tetap di kelas dua, deh. Jali, tuh, termasuk gengnya mereka...” Ria menunjuk ke arah anak-anak level satu,” Bisa dibilang... dia, tuh, pentolan di sini... semua cowok takut sama dia, dan semua cewek caper (cari perhatian) pada ngejar-ngejar dia. Emang anaknya lumayan ganteng, tapi banyak yang mau jadi pacarnya cuma gara-gara pengen jadi pacar cowok paling ngetop se-sekolah ini.”

Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Ria. Tapi jujur aja, aku nggak rela pindah dari kursi itu. Soalnya enak banget, deket jendela. Kalo jendelanya dibuka, angin semriwing-semriwing sejuk meniup, bikin udara jadi segar dan adem. Terus kalo bete sama papan tulis, tinggal melihat ke luar. Karena kelasku di lantai dua, dari jendela aku bisa melihat pemandangan lapangan dan taman sekolah yang rimbun.

”Jadi... untuk mencegah keributan kalo nanti misalnya Jali datang ke kelas... mendingan elo pindah dari kursi lo.” aku cuma manggut-manggut mendengar ultimatum Ria.

”Gue tahu dari muka lo kalo lo nggak bakal pindah.” Mata Ria memicing menatapku tajam,”Jangan nyengir lo, Na... muka lo penuh dosa. Gue tahu lo kepala batu. Pasti lo nggak mau ngalah, nggak mau nyerahin bangku itu.”

Aku langsung memeluk leher Ria dengan segenap cinta dan kasih, “Duh, Riaaa.... emang elo, deh, yang paling ngerti gueee..... ADAAOOWW!!!” pelukanku yang penuh cinta dan kasih itu dibalas oleh jitakan penuh kebencian dan kedengkian oleh Ria.

“Terserah lo, deh, Na... Yang penting gue udah ngingetin elo. Tapi beneran, deh... mendingan lo pindah tempat duduk aja.” Ujar Ria serius. Aku cuma nyengir kuda. Aku nggak takut sama si Jali ini. Lagian, masa, sih, dia nggak mau ngalah sama cewek? Apalagi ceweknya semanis aku. Hehehe...

2 : Doc Marteen, Senjata Ampuh (b)

Sesampainya di sekolah, aku mampir ke ruang guru. Oleh Pak Agus, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, aku mendapat pengarahan dam penjelasan tentang sekolah baru ini. Aku mati-matian menahan tawa saat berhadapan dengannya. Penampilannya yang gendut, pendek, dan berkumis lebat, sangat mirip sekali dengan Mario Bros. Itu loh, karakter game nintendo.

Berdasarkan penjelasan Pak Agus, SMU Harapan memiliki peraturan yang tidak terlalu ketat soal seragam, tidak ada aturan harus memakai sepatu hitam atau ikat pinggang (hore!). Namun mereka sangat ketat terhadap absen. Jika muridnya tidak masuk sekolah tanpa keterangan, sekolah akan langsung menghubungi orantua si murid. Jika absen lebih dari tiga hari tanpa kabar, maka akan dikenai sanksi skors. Dan seandainya absen sampai 30 persen dari kehadiran, maka tidak bisa naik kelas. Untung aku bukan tipe anak yang suka bolos. Jadi aku tidak masalah dengan semua aturan itu. Sisanya hanya peraturan standar seperti tidak boleh membawa senjata tajam, tidak boleh merokok, minum minuman keras, dan lain-lainnya yang pasti ada di sekolah manapun.

Lima menit setelah bel, aku baru di antar ke ruang kelas bersama wali kelasku yang baru, namanya Ibu Koes. Beliau berpenampilan sangat bersahaja sekaligus keibuan. Walau aku baru melihatnya hari ini, aku langsung tahu kalau Ia adalah guru yang sangat baik. Kulitnya agak gelap, namun badannya tinggi semampai, dan langkahnya begitu anggun. Kacamata berbingkai warna emas yang menghias wajahnya membuat beliau tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya. Aku rasa umurnya 35-36 tahun.

Selama perjalanan menuju ke kelas, beliau menanyakan suasana sekolahku yang terdahulu di Maluku. Ia tampak antuasias mendengar ceritaku tentang sekolah lamaku dan teman-temanku. Belum apa-apa aku sudah menyukai wali kelasku, beliau benar-benar pribadi yang ramah.

Sesampainya di kelas, aku melihat anak-anak kelas yang tadinya gaduh langsung duduk di mejanya begitu melihat Ibu Koes datang. Begitu masuk ke kelas, semua murid memandangku. Aku sedikit malu, jadi nggak pede sama tinggi badanku.

” Selamat pagi, anak-anak.” Bu Koes menyapa murid-murid. Aku berdiri salah tingkah di sampingnya.

”PAAGGIII, BUUUU....!!!”

”Siapa, tuh, Bu? Anaknya, ya?” aku mendengar suara celetukan dari arah belakang, disambut oleh tawa seisi kelas.

”Bukan.” Bu Koes tersenyum, ” Kenalkan ini teman baru kalian.”

”Wah, jadi dia anak SMA??? Saya kira anak SD!” terdengar suara lain menimpali. Aku mencari sumber suara tersebut. Seorang cowok berambut keriting dengan gaya slengean, hmm... awas kamu nanti! Beruntung di sini ada Bu Koes, kalau saja hanya ada kamu dan aku, aku bakal bikin rata semua jari kakimu.

” Ayo, Karina, perkenalkan diri kamu.” Bu Koes menyentuh bahuku lembut.

” Halo, namaku Karina Meifta... Mmmm... umurku 16 tahun, hobi baca buku...”

”Siapa yang nanyain hobi???”

”Bohong, tuh, 16 tahun!! Malsuin umur kayaknya!”

”HAHAHAHAHAHH...!!!!!”

Dua anak lagi yang jempol kakinya bakalan rata... Eh, si keriting monyong tadi nyeletuk lagi ternyata. Yang satu lagi kurus hitam. Awas kalian berdua...

”Daniel! Ronald!” Bu Koes berseru tajam kepada mereka berdua. Mereka hanya nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala. Ternyata nama mereka adalah Daniel dan Ronald... Entah yang mana Daniel, yang mana Ronald.

”Lanjutkan, Karina... Kamu pindahan dari sekolah mana?” suara Bu Koes melembut lagi.

”Eenngg... saya pindahan dari SMU 1 Wayame.”

”Wayame??? Itu sebelah mananya Zimbabwe, ya??” mereka berdua lagi... Benar-benar cari perkara!!

”Tepatnya di Propinsi Maluku, Indonesia bagian timur. Kalo masih nggak tau juga Maluku itu yang mana, sana aja lo balik ke bangku SD!!!” tukasku sengit.

Satu kelas tertawa mendengar balasanku. Aku jadi malu sendiri, aku nggak bermaksud membalas omongan mereka, setidaknya bukan di depan Bu Koes. Ternyata Ibu Koes malah sedang tersenyum menahan tawa, aku pikir ia akan melotot padaku. Sementara dua cowok biang rusuh tadi ikut tertawa juga mendengar jawabanku.

”Nah, sekarang... tempat dudukmu...” Bu Koes mencari-cari bangku kosong. Ada tiga, tapi semuanya di daerah belakang.

”Di sana boleh, Bu?” aku menunjuk bangku kosong yang berada tepat di sebelah jendela. Itu spot yang paling oke. Ibu Koes tampak berpikir sebentar sampai akhirnya kemudian dia mengangguk.

Segera aku berjalan menghampiri mejaku. Aku mendengar beberapa murid berbisik-bisik sambil menatapku. Apa dandananku ada yang aneh, ya? Ah... biarin aja, deh!

Di depan mejaku duduk seorang cewek dengan dandanan yang aneh. Ia memakai kalung ala tentara Amerika, dikalungkan di lehernya yang jenjang. Di tangan kirinya melingkar gelang-gelang berwarna hitam, mungkin jumlahnya 20-an, sementara di tangan kanannya dia memakai gelang perak besar. Rambutnya lurus panjang berwarna hitam legam, seperti model iklan shampo. Tampak goresan eye liner berwarna hitam pada garis matanya, senada dengan warna cat kuku yang ia gunakan.

Ghotik... keren banget ni cewek!

Aku pengen sekali-kali bergaya gothik seperti cewek ini. Tapi sayangnya, aku nggak pantes bergaya gothik. Soalnya wajahku nggak segarang cewek ini. Biarpun wajahnya tampak galak, cewek di depanku ini sebenarnya sangat cantik, apalagi dengan kulit putih gadingnya. Hmmm… kalo aku bertemu dia di kuburan, pasti aku akan mengira dia kuntilanak.

Si cewek ghotik menatap tajam ke arahku dengan tiba-tiba. Aku jadi kaget sendiri. Serem, euy. Salah tingkah, aku buru-buru melewati dia dan menaruh tasku di samping meja baruku. Aura di sekitar Si Ghotik berasa dingin. Jangan-jangan ni cewek kalo malam beneran ngeronda di kuburan.

Aku segera mengeluarkan buku tulis dan tempat pensil dari tasku. Bu Koes sudah meminta anak-anak mengeluarkan buku Bahasa Indonesia. Aku sudah membeli semua buku cetak yang diperlukan. Lima menit kemudian aku sudah berkonsentrasi pada bahasan kalimat majemuk setara dan bertingkat. Hmmm... ternyata tingkat pelajaran di Jakarta memang lebih sulit daripada di Maluku sana. Memang bahasannya sama-sama kalimat majemuk, namun contoh kalimat yang digunakan lebih ribet. Kadang sulit membedakan mana yang majemuk setara mana yang bertingkat. Duh, emang dasarnya aku ga pinter, sih... akhirnya aku malah sibuk menggambar-gambar buku cetakku.

”Pssst...!”

Kayaknya anak-anak yang lain malah sibuk bisik-bisikkan.

”Pssst...!” kali ini suara desissannya lebih kencang. Manggil siapa, sih, dia?

”Nanaaaa...”

Loh, ada yang manggil namaku, ya? Aku menolehkan kepalaku ke arah suara itu berasal.

”Nana, kan?” tanya si pemilik suara. Seorang cewek dengan rambut yang dipotong indie pendek ala anak brit pop. Itu, loh, yang poninya panjang menyamping dan rambut bagian belakangnya acak-acakkan kayak pantat ayam. Tapi... kayaknya aku familiar, deh, sama cewek ini...

”Na, ini gue... Ria!”

”RIAAA????” seruku terkejut.

”Karina? Ada apa?” tiba-tiba Bu Koes memanggilku dari depan kelas. Belum hilang rasa excited-ku karena mengetahui ternyata cewek tadi adalah Ria, teman sekolahku waktu SMP.

Aku spontan berdiri sambil berseru, ” Ada Ria, Bu!!”

Kata-kataku disambut oleh tawa anak-anak yang lain. Duh, aku maluuuuu....

”Iya, Ibu tahu di kelas ini ada siswi yang bernama Ria... Apa masih ada lagi informasi yang Ibu perlu tahu? Misalnya kenapa kamu tiba-tiba berteriak di kelas saat pelajaran sedang berlangsung?”

”Maaf, Bu... Udah cukup informasinya, kok.” aku kembali duduk di kursiku dengan wajah semerah kepiting rebus. Yang lainnya masih saja menertawakan tingkahku. Duh, mudah-mudahan kejadian ini tidak menimbulkan trauma, deh. Aku takut pertumbuhan tinggi badanku bisa terhambat karena mengalami rasa malu akut.

”Kalau begitu pelajarannya kita lanjutkan.” Ibu Koes tersenyum. Dia ngetawain aku juga, ya???

”Na, bego banget, sih, lo!” Ria kembali berbisik ke arahku begitu Bu Koes kembali konsentrasi mengajar. Ia duduk dua meja dari belakang di sebelahku, tepat di sebelah Si Cewek Ghotik.

”Ya ampun, Riaaa... gue kangen!!!” pekikku sambil berbisik.

“Kapan lo dateng ke Jakarta??? Kok, lo ga ngabarin gue?? Kirim surat, kek!”

Karena kami berpisah waktu SMP, kami belum memiliki handphone saat itu. Jadi ketika kami sudah memiliki handphone, kami saling tidak mengetahui nomor HP yang lain. Selama aku di Maluku, kami tidak pernah berkomunikasi. Bukannya sombong atau apa, tapi karena memang tidak ada media komunikasinya. Kalau melalui surat... jujur saja, aku malas menulis surat. Aku yakin Ria juga. Buktinya dia tidak pernah mengirimiku surat, kecuali dua kali, saat satu bulan pertama aku pindah. Aku juga membalasnya, satu kali, hehehe...

”Sori, sori... gue males, Ri. Niat gue tadinya mau main aja ke rumah lo. Gue baru nyampe minggu lalu.”

”Udah seminggu?? Dan lo ga ke rumah gue???? Seminggu itu lama, loh!” Ria mendelik kesal.

”Iya, soriiii.... ”

”Ya, udah... nanti aja kita ngobrolnya. Gue nggak mau ketinggalan pelajaran.” Ria kembali pada posisi duduknya semula, menghadap ke depan. Dasar orang pinter. Dari dulu nggak berubah, tetap siswa teladan. Tapi kemudian dia menengok lagi ke arahku, ”Gila, Na! Gue kangen banget ma lo!” bisiknya sambil tersenyum girang.

Gue juga, Ri! Gue nyaris takut kalo lo nggak sekolah di sini juga. Lebih nggak nyangka lagi ternyata kita sekelas. Bakalan seru, nih, hari-hariku di sini.

2 : Doc Marteen, Senjata Ampuh (a)

SMU Harapan berlokasi tidak begitu jauh dari komplek perumahanku. SMU Harapan sendiri berdiri di dalam sebuah komplek perumahan, tidak jauh dari gerbang komplek tersebut. Papa menurunkanku pas di depan komplek, dari sana aku harus jalan kaki sedikit.

”Dah Papa...” aku melambaikan tangan mengiringi kepergian Papa, Papa membalas dengan melambaikan tangannya melalui kaca mobilnya. Aku membalikkan badan dan melihat sekeliling. Banyak cowok dan cewek lain yang memakai seragam yang sama denganku, mereka adalah teman-teman satu sekolahku. Kebanyakan naik angkutan umum seperti bis atau mikrolet dan turun di depan komplek. Dari sana semuanya berjalan kaki menuju gerbang sekolah. Ada sebagian juga yang membawa mobil. Banyak juga yang membawa mobil mewah. Huh, padahal mereka belum tentu punya SIM.

Tapi aku lebih bersemangat melihat anak-anak lain yang berjalan kaki, mereka semua adalah calon teman-teman baruku. Aku tak sabar ingin berkenalan dengan mereka! Aku juga tak sabar ingin bertemu dengan teman-temanku semasa SMP dahulu. Seperti Sarah dan Ria. Dulu kami bertiga bersahabat dekat, sering saling menginap di rumah yang lain.

Aku ingat Sarah itu sangat cantik, wajahnya kebule-bulean karena Ibunya asli dari Belanda. Dia yang paling modis di antara aku dan Ria. Apalagi dia juga tajir berat. Ayahnya adalah pengusaha ekspor impor, sementara Ibunya berbisnis jual beli permata dan berlian. Waktu SMP banyak sekali anak cowok yang naksir sama dia, tapi dia tidak pernah mengacuhkan cowok-cowok itu. Walau masih SMP, Sarah sudah pintar dandan. Ia selalu memakai lipgloss dan blush on kalau ke sekolah, sementara saat jalan-jalan ke mall ia sudah berani memakai lipstik yang berwarna peach atau pink muda.

Beda dengan Ria yang kutu buku. Ria itu murid teladan di sekolahku yang dulu. Walaupun tidak belajar, ia masih bisa mendapat nilai bagus. Aku saja sering meminta contekan dari dia kalau sedang ulangan, hehehe... Selain itu dia sangat cuek, dia tidak begitu peduli pada penampilannya dan hanya mau memakai pakaian yang dia suka. Kadang dia memakai kaus kakak laki-lakinya yang bergambar personel band Kiss, padahal jelas-jelas kebesaran di tubuhnya, atau sweater dengan motif garis-garis. Motif garis-garis adalah kesukaannya. Dia hampir selalu memakai baju sweater dengan motif garis-garis kemanapun ia pergi. Ditambah dengan earphone di telinganya dan buku-buku berat di tangannya. Berat isi ceritanya, maupun berat karena halamannya yang tebal.

Aku penasaran, sekarang mereka jadi seperti apa, ya?

Masih ada, sih, teman-temanku yang lain. Namun hanya mereka berdualah yang rumahnya dekat dengan SMU ini, kemungkinan besar mereka masuk ke SMU ini. SMU Harapan juga terbilang cukup populer karena sekolah ini tidak hanya menyeleksi calon pelajarnya melalui hasil UAN, mereka juga harus mengikuti tes saringan masuk yang cukup ketat. Selain itu, SMU Harapan juga dikenal sebagai sekolahnya anak gaul, mungkin karena letaknya yang strategis, dekat dengan mall, bioskop, dan spot-spot yang sering dijadikan tempat tongkrongan. Jadi, banyak juga anak-anak yang masuk SMU ini hanya karena dekat dengan mall dan tempat nongkrong yang seru.

Aku melihat ada warung rokok kecil di pertigaan sebelum sekolahku. Letaknya pas di belokan sehingga tidak terlihat dari gedung sekolah. Di sana tampak beberapa murid cowok dan cewek sedang nongkrong, anak sekolahku. Mereka keren-keren...

Astaga! Ada satu cowok yang sedang merokok! Dasar... nggak malu apa pagi-pagi sudah merokok?! Padahal dia pakai seragam! Aku, tuh, paling benci orang yang merokok. Asapnya kan ganggu banget. Perokok pasif memiliki resiko terkena gangguan paru-paru lebih besar daripada perokok aktif, loh. Makanya aku benci banget dekat-dekat orang merokok. Bukannya nggak mungkin kalau pertumbuhan tinggi badanku bisa terganggu gara-gara asap rokok.

Heran, deh. Berani banget cowok itu merokok di dekat sekolah... Nggak takut ketahuan guru apa?

”Heh! Apa lo lihat-lihat!” tiba-tiba si cowok itu menegurku dengan tajam. Aku tak sadar kalau dari tadi aku sudah menatapnya dengan tatapan tak suka. Berlagak budek, aku jalan terus menuju gerbang.

”Woi... anak SMP gedungnya di sebelah sana! Bukan di sini!”

ANAK SMP??????

Ngomong apa dia tadi??!!!

Mentang-mentang aku pendek, terus seenaknya aja dia ngatain aku anak SMP!!

Oke, ini udah keterlaluan... Aku terima saja kalau dikatain jelek, bawel, genit, atau apa saja. Asal jangan menghina tinggi badanku!!!

Aku segera membalikkan badanku dan menatap cowok itu. Hmm... dia lumayan cakep, kulitnya putih, rambutnya hitam kecoklatan karena terbakar matahari. Tapi yang paling keren dari dia, tuh, matanya yang tajam dan alis tebalnya. Kalau diperhatikan, ternyata matanya berwarna kecoklatan.

Duh!

Sadar, Na!! Dia adalah musuhmu!! Kok, malah merhatiin matanya yang bagus dan ga nahan itu! Eh, bukan... maksudku, wajahnya yang nyebelin!

Aku melangkah mendekati cowok itu, ia dan teman-temannya menatapku bingung. Aku mengumpulkan seluruh tenaga di kaki kananku, dan...

”AADDAAAOOOWWW!!!” sepatu Doc Marteen-ku mendarat dengan mulus di atas kakinya. Hehehe... makanya aku suka sepatu bootku ini, selain keren, sepatu ini juga bisa menjadi alat bela diri yang ampuh.

” Sialan!!” si cowok reseh itu berdiri, teman-temannya juga dengan sigap ikut berdiri dan memandangku dengan gusar.

”Emangnya enak!!” sambil berteriak begitu aku langsung berlari menuju gerbang sekolah. Ia tidak berani menyusul karena di depan gerbang sekolah ada dua orang guru pria yang sedang berdiri. Ia hanya bisa menatapku dengan kesal sambil bersungut-sungut. Hahaha.... Rasain, tuh!!!

1 : Jangan Panggil Aku Imut!

Namaku Nana. Lengkapnya Karina Meifta.

Usiaku enam belas tahun, kelas dua SMA. Secara penampilan, menurutku aku lumayan manis. Kulitku putih, hidungku mancung, mataku bulat, bibir tipis... yah, menurutku aku lumayan cantik, deh, pokoknya. Orang lain juga sering bilang aku cantik (orangtuaku dan kakak laki-lakiku--itu kan namanya juga orang lain). Tapi entah kenapa yaa... yang aku ga ngerti... KENAPA TINGGI BADANKU CUMA 146 CENTIMETER????

Bukannya aku nggak bersyukur atau apa, tapi masalahnya, di keluargaku hanya aku satu-satunya yang nggak tinggi. Mama memiliki tinggi badan 170 centimeter, Papa 176 centimeter, dan Glenn, abangku, 180 centimeter. Coba, ya... semua anggota keluargaku tinggi-tinggi. Kenapa cuma aku aja yang kurang tinggi?? Itu aneh, kan?!

Glenn selalu menggodaku dengan mengatakan bahwa aku anak pungut-lah, punya kelainan tulang-lah, kena kutukan karena waktu kecil bandel banget-lah... duh, pokoknya macam-macam, deh! Itu kan alasan yang nggak logis. Teman-temanku juga selalu terkejut melihat perbedaanku dengan keluargaku sendiri yang mencolok. Tuh,... ngerti, kan, kenapa aku begitu frustasi dengan tinggi badanku ini? Bukannya karena aku nggak bersyukur, loh.

Tinggi badanku ini banyak dampak buruknya. Aku pernah lihat di internet, katanya orang yang tubuhnya lebih pendek memiliki umur yang lebih pendek daripada orang yang bertubuh lebih tinggi. Selain itu katanya orang pendek lebih cepat naik pitam karena darahnya lebih cepat naik ke kepala daripada orang yang badannya tinggi. Itu menjelaskan dari mana sifat galakku ini berasal. Jadi kalau aku memang cepat tersinggung, bukan karena aku judes, tapi karena tinggi badanku cuma 146 cm. Ya, kan?

Aku bukannya galak, loh. Aku termasuk orang yang cukup sabar. Tapi, jangan sekalipun ada yang mencoba mengatai aku pendek, aku pasti ngamuk besar. Semua sebutan yang menyinggung tinggi badanku seperti ”pendek”, ”kecil”, ”kuntet”, ”mungil”, dan sejenisnya aku nggak suka. Apalagi kalau ada yang menyebutku imut. Itu sama saja mengatai aku pendek tapi dengan cara halus. Kalau ada yang mengataiku dengan kata-kata tadi, aku nggak segan-segan untuk meninju wajahnya, memelintir lehernya, dan merebus lidahnya. HUH!!!

”Nanaaaa......!!! Sarapan sudah siap!” terdengar suara Mama memanggilku. Aku gelagapan mencari tas sekolahku. Ternyata ada di bawah meja belajar. Langsung saja kusambar sambil bergegas keluar dari kamar menuju ruang makan.

Di sana sudah ada Mama, Papa, dan Glenn. Mama sedang mengoles sepotong roti dengan selai coklat kesukaanku, Papa asyik membaca koran sambil mengunyah rotinya, sementara Glenn berkonsentrasi penuh pada sarapannya. Ia berhenti melahap rotinya sesaat untuk melirikku. Dan ia tertawa kecil. Apa maksudnya itu???

”Heh! Apa lo ketawa-ketawa?!” tegurku sambil menggeser kursi untuk duduk.

”Nana, kok, begitu ngomongnya?” Mama meletakkan sepotong roti selai coklat di piringku.

”Habis Glenn ngetawain aku... ” aku membela diri.

”Loh, emangnya nggak boleh?” ujar Glenn sambil menatapku dari atas sampai bawah,”Ngomong-ngomong... itu seragam baru lo kegedean, apa elonya yang terlalu kecil? Hahaha... ”

TUH KANNN!!!!! Beneran Glenn ternyata ngetawain aku!

”ADAAUUWW!! Nana!! Sakit, tauk!!” pekik Glenn sambil mengusap jempol kakinya. Hehehe, aku lupa kalau aku sudah pakai sepatu. Tadi aku kelepasan menginjak kakinya sekuat tenaga.

”Glenn! Nana!” Mama sudah mengeluarkan suara dengan nada tegas. Itu tandanya kami harus menghentikan keributan ini atau kami berdua tidak akan dapat uang jajan untuk hari ini. Sementara Papa, bagai orang tuli, tetap menempelkan koran didepan wajahnya sambil mengunyah roti.

Glenn yang masih bisa tertawa walaupun sambil meringis mengelus jempol kakinya menjawab,” Emang Mama nggak liat, seragam baru Nana kedodoran, tuh. Nananya ’tenggelam’. Hihihi... lo ga pantes banget jadi anak SMA. Hihihi...”

Aku sudah ancang-ancang untuk menginjak jempol kakinya yang satu lagi, tapi ternyata ia sudah menaiki kedua kakinya ke atas kursi hingga posisinya berjongkok. ”Tapi Ma, ini kan udah seragam ukuran paling kecil... Jangan-jangan ukurannya bukan S. Salah label kali, ya, Ma?” akhirnya aku mencoba meminta pembelaan dari Mama. Bukan badanku yang terlalu kecil, tapi memang seragamnya aja yang salah ukuran. Walau di labelnya tertulis huruf S, aku yakin pasti sebenarnya ini ukuran L!

Iya, hari ini aku pakai seragam sekolah baru, karena ini adalah hari pertamaku di SMU Harapan. Sebelumnya aku bersekolah di Maluku, di daerah bernama Wayame. Papa yang bekerja di perusahaan maskapai penerbangan ditugaskan di bandara Pattimura di Maluku selama dua tahun. Aku dan Mama mengikuti Papa ke sana. Hanya Glenn yang tetap tinggal di Jakarta karena saat itu dia sudah mulai kuliah di Universitas Trisakti.

Dia tetap tinggal di rumah kami bersama seorang asisten rumah tangga. Namun sekembalinya Papa dan Mama, Mama merasa kami tidak perlu asisten rumah tangga lagi, karena memang sebenarnya rumah kami tidak begitu besar dan Mama sanggup mengurus segala keperluan rumah tangga. Tapi tetap saja, ujung-ujungnya aku dan Glenn tetap harus membantu Mama mengurus rumah.

Akhirnya aku kembali lagi ke Jakarta, dan aku sangat bersemangat untuk memulai hari pertamaku sebagai anak SMU di Jakarta. Bukannya aku tidak senang di sekolahku yang lama. Justru aku sangat senang. Di sekolahku yang lama, karena jumlah muridnya tidak terlalu banyak, kami menjadi sangat akrab satu sama lain. Biasanya sepulang sekolah, kami akan bermain di pantai, sekolahku terletak di dekat pantai berpasir putih yang indah. Dan karena bukan merupakan obyek wisata, pantai itu tidak terlalu ramai serta masih bersih. Tidak ada sampah seperti pantai Ancol. Udaranya pun masih segar, walaupun daerah pantai, tapi udaranya sesejuk udara Bandung.

Walaupun di sana banyak hal menyenangkan, namun aku juga rindu suasana Jakarta yang riuh, mall-nya yang besar-besar, Gramedia Matraman yang lengkapnya bukan main, dan yang paling aku rindu di antara yang lainnya, sahabat-sahabatku semasa SMP dulu. Mudah-mudahan di antara mereka ada yang masuk di SMU yang sama denganku.

”Mungkin memang karena seragam kamu masih baru, jadi masih longgar.” ujar Mama menanggapi kata-kataku barusan. Tuh, kan! Bukan tubuhku yang terlalu kecil, memang seragamnya yang nggak oke. Tapi aku cukup suka, sih, sama seragam ini. Atasannya berwarna putih dengan motif garis-garis biru gelap dan merah marun yang membentuk kotak pada dasi serta kerah dan lipatan lengannya, senada dengan warna roknya. Roknya berlipit-lipit dan mengayun indah setiap aku berjalan. Panjangnya memang melebih lututku, tapi aku merasa nyaman memakainya.

”Tuh, Glenn, bukan badanku yang kekecilan...!”

”Iya, deh, iya...yang salah emang bajunya, bukan elo...” Glenn masih belum menyingkirkan senyum jahilnya. Glenn sebenarnya kakak yang baik, dan aku cukup kompak dengan dia. Tapi jahilnya itu minta ampun, deh. Mungkin karena dia belum punya pacar kali, ya? Jadinya dia melimpahkan kesendiriannya sebagai jomblo dengan menjahili aku.

Aku heran juga kenapa dia belum punya pacar, padahal dia ganteng loh. Badannya tinggi, hidungnya mancung, persis seperti aku. Belum lagi alisnya yang tebal dan matanya yang cekung. Teman-temanku semasa SMP dulu juga banyak yang menggebet dia. Sayangnya... Glenn itu malas mandi! Rambutnya juga dibiarkan gondrong tak beraturan. Selain itu, Glenn sangat terobsesi sama kaktus bonsai. Dia punya 21 kaktus mini di halaman rumahku yang semuanya diberi nama. Coba, ya... bagaimana cewek mau kepincut sama dia kalau mengetahui hobinya yang aneh ini?

Tiba-tiba Papa berdiri, ”Yang mau berangkat bareng Papa, ayo jalan sekarang.” ujarnya singkat. Papa memang tipe pria yang tidak banyak bicara, beda jauh sama Mama yang cerewet. Aku langsung buru-buru meminum susu kalsiumku. Aku harus banyak-banyak minum susu kalsium, soalnya kan aku masih dalam masa pertumbuhan, jadi tubuhku masih bisa lebih tinggi lagi.

Tergopoh-gopoh aku mengikuti Papa ke mobil setelah sebelumnya mencium pipi Mama dan meninggalkan bercak susu di sana. Glenn masih bersantai ria di meja makan karena hari ini ia kuliah siang. Aku tak sabar ingin melihat sekolah baruku!! Pasti aku akan bertemu teman-teman baru yang menyenangkan.